Featured Video

Home » » Belajar Menjadi Sebuah Tim Indonesia dari Homeless World Cup

Belajar Menjadi Sebuah Tim Indonesia dari Homeless World Cup

Written By remi on Thursday, October 18, 2012 | 10:08 PM

Kaskus - The Largest Indonesian Community - BERITA DAN POLITIK
Bicara tentang politik dan berita terbaru baik dalam atau luar negeri. Tulisan yang terdapat di dalam section ini adalah di luar tanggung jawab Kaskus
Belajar Menjadi Sebuah Tim Indonesia dari Homeless World Cup
Oct 19th 2012, 04:15

Quote:

Jakarta - Sekelompok laki-laki entah siapa dan dari mana, dengan modal seadanya, cuma berbekal semangat dan doa, diam-diam bisa mengibarkan bendera merah putih di sebuah turnamen olahraga internasional.

Sebelum Agustus, ketika Rumah Cemara mulai mengumumkan kepada publik bahwa mereka akan mengirim sebuah tim ke Homeless World Cup 2012 di Meksiko, tidak ada yang tahu siapa Farid Satria, Doni Setiawan, Adik Irawan, Arif Apriadi, Suherman, Mozes Manuhutu, Anton Sugiri, Muhammad Iqbal, dan Bonsu Hasibuan, bahkan jika meyelidikinya lewat situs pencari google sekalipun.

Kedelapan laki-laki itu masih hidup dalam stigma dan diskriminasi. Bagi kaum miskin kota dan atau pecandu narkoba dan pengidap virus AIDS/HIV -- mereka berasal dari kalangan ini --, apapun yang mereka lakukan sering kali masih dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat, bahkan dianggap sampah, walaupun mereka terus berusaha untuk keluar dari dunia itu.

"Inilah salah satu tujuan besar kami, Rumah Cemara dan rekan-rekan LSM serupa, bahwa mereka kaum marjinal, bisa hidup di Indonesia tanpa stigma dan diskriminasi. Mereka juga tidak mau miskin, mereka telah menyadari betapa narkoba telah merusak kehidupan mereka. Tapi mereka tetap punya hak untuk menjalani hidup yang lebih baik," tutur Febby Arhemsyah, manajer tim HWC Indonesia, dalam perbincangan dengan detiksport di Bandung kemarin.

Ketika olahraga (sepakbola) menjadi sebuah kesempatan untuk berubah, kedelapan pria itu tak menyia-nyiakannya. Dengan sebuah kemampuan memainkan si kulit bundar, mereka terpilih melalui turnamen seleksi bertajuk League of Change, yang diikuti 80 orang dan digelar di delapan kota pada Februari lalu. Rumah Cemara, yang sejak dua tahun lalu diundang Homess World Cup untuk mengurus tim dari Indonesia, pun mencalonkan mereka sebagai anak-anak negeri yang akan berpartisipasi di turnamen "orang pinggiran" itu.

Sampai situ perjalanan masih jauh. Uang adalah, dan selalu sering menjadi masalah. Apalagi untuk sekelompok orang "marjinal". Kenyataannya, biarpun membawa nama negara, mereka tidak mendapatkan bantuan sepeser pun dari instansi resmi yang menaungi olahraga dan sepakbola. Seperti dari awal diberitakan, proposal yang dikirim Rumah Cemara ke Kementerian Pemuda dan Olahraga serta PSSI, kembali tanpa sebuah kuitansi.

"Saya pikir, wajar saja kalau kami berharap bisa memperoleh dukungan materil dari mereka, karena kami ini membawa nama negara melalui olahraga. Jangan lupa, tahun lalu pun (di Paris), tanpa gembor-gembor, kita bisa menjadi tim peringkat keenam di sana," ujar Febby.

Uang rakyat

Maka estimasi biaya Rp 500 juta pun harus dicari ke sana-sini -- pihak penyelenggara hanya menanggung urusan akomodasi dan konsumsi. Sebuah gerakan sosial dicetuskan: #1000untuk1. Jika satu orang saja cukup menyumbang seribu perak, kalau bisa mencapai 500 ribu dariratusan juga orang, maka uang itu bisa terkumpul, dan tim bisa berangkat.

Gerakan itu ternyata mendapat respon luar biasa. Menurut keterangan Rumah Cemara, dari bantuan masyarakat mereka memperoleh sumbangan sekitar Rp 150 juta. Mereka pun beruntung karena beberapa sponsor masuk, antara lain Bank Jabar Banten dan Pertamina. Yang tak kalah menarik, sumbangan yang mereka terima tidak semata-mata uang. Sebuah perusahaan travel menyediakan armada kendaraannya untuk antarjemput tim termasuk ke bandara. Juga ada yang khusus menyumbang perlengkapan bertanding, mulai dari jersey, training, dan sepatu.

"Terus terang, ada beban tersendiri yang kami rasakan. Ini uang masyarakat, Mas. Kami bisa naik pesawat, pergi ke luar negeri, itu karena dana dari masyarakat. Saya ngomong seperti ini bukan untuk belagu, Mas. Biar gini-gini kami pun sadar bahwa ini sebuah tanggung jawab besar," ungkap kapten tim, Bonsu Hasibuan.

Setelah dana ada, dan bisa melakukan persiapan teknis selama dua minggu, tim ini berangkat ke Meksiko. Dan lagi-lagi, masyarakat lah yang melepas keberangkatan mereka di sebuah lapangan di kota Bandung, bukan pejabat atau pemerintah.

"Kami terharu sekali. Kami yang bukan siapa-siapa ini disalami masyarakat, dibekali bendera merah putih untuk berjuang di sana," tutur Febby.

Adaptasi lingkungan, Menyanyikan Indonesia Raya

Di Mexico City, Indonesia tergabung dalam sebuah pesta kaum homeless bersama 61 negara lain. Hampir semua pemain baru pertama kali naik pesawat tebang -- apalagi sampai ke luar negeri, menghabiskan perjalanan di udara sekitar 30 jam.

Berada di sebuah tempat bernama Plaza de la Constitucion, Zocalo, yang setiap hari didatangi sekurang-kurangnya 10 ribu orang, tim Indonesia pun mengalami berbagai momen dan pengalaman. Makanan yang tak cocok dengan lidah, dan bahasa yang tak dimengeri, adalah kendala yang paling umum dirasakan. Tapi, sebagaimana didirikan oleh dua pengusaha bernama Mel Young dan Harald Schmied, turnamen yang sudah digelar sejak 2003 itu dibuat sebagai sebuah bahasa internasional untuk menyatukan kaum marjinal di seluruh dunia -- dan sepakbola adalah bahasa universal itu.

Diceritakan Febby, "penyakit umum" orang Indonesia jika bersaing dengan tim-tim dari luar negeri adalah minder, dan itu dialami pula oleh Suherman dkk. Umumnya negara-negara terutama Eropa, tampil dengan "gagah". Selain kostum yang keren -- dengan apparel yang tentu saja asli -- mereka membawa tim yang lengkap, dari ofisial sampai tukang pijat.

"Logo di kostum mereka resmi. Inggris, misalnya, punya federasi sendiri untuk street soccer Homeless. Soal postur ya jangan ditanya. Orang-orang bule itu kan memang tinggi besar. Anak-anak sempat ciut juga mula-mulanya," tutur Febby.

"Tapi inilah gunanya tim. Kami saling menyemangati, saling dukung. Pokoknya terbuka, semua harus dilakukan bersama-sama. Dan satu lagi, Mas. Kami di sana bukan dengan ambisi untuk menang. Kami cuma ingin menikmati setiap momen yang didapat. Kami harus gembira melakukan ini," terang Bonsu, kapten yang sangat sering menjadi pelatih tim futsal di Jakarta, termasuk tim-tim yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan.
bersambung di bawah

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Blogger Themes